Pendahuluan
Kultur Pucuk (Shoot culture) adalah teknik mikropropagasi yang dilakukan dengan cara mengkulturkan eksplan yang mengandung meristem pucuk (apikal dan lateral) dengan tujuan perangsangan dan perbanyakan tunas-tunas/cabang-cabang aksilar. Tunas-tunas aksilar tersebut selanjutnya diperbanyak melalui prosedur yang sama seperti eksplan awalnya dan selanjutnya diakarkan dan ditumbuhkan dalam kondisi in vivo.
Ads:
Kursus internet marketing
Istilah yang digunakan untuk teknik kultur pucuk ini tergantung dari eksplan yang digunakan. Jika eksplan yang digunakan adalah ujung pucuk-pucuk apikal (panjang ± 20 mm) saja maka tekniknya disebut sebagai “Shoot-tip Culture”, namun bila eksplan yang digunakan adalah ujung pucuk apikal beserta bagian tunas lain dibawahnya disebut sebagai “Shoot Culture”. Besar kecilnya eksplan yang digunakan mempengaruhi keberhasilan kultur pucuk. Semakin kecil eksplan, semakin kecil kemungkinannya untuk terkontaminasi oleh mikroorganisme namun semakin kecil juga kemampuannya untuk beregenerasi dan memperbanyak diri. Sebaliknya, semakin besar eksplan yang digunakan maka semakin besar kemampuannya untuk beradaptasi dalam kondisi in-vitro, namun makin besar juga kemungkinannya untuk terkontaminasi, makin banyak kebutuhannya akan media dan makin besar wadah/botol kultur yang diperlukan. Oleh karena itu perlu diketahui ukuran eksplan yang sesuai untuk masing-masing varietas dan spesies tanaman. (Anonymous, e-learning.unram.ac.id )
Tujuan praktis kultur pucuk adalah untuk perbanyakan vegetatif tanaman, yang mendasari produksi bibit secara komersial. Pucuk awal ini dalam media yang tepat, membentuk pucuk-pucuk baru yang jumlahnya tergantung dari jenis, berkisar dari 4-20 an tunas. Setelah di induksi pembentukan akar pada pucuk, maka akan tumbuh tanaman yang sempurna yang identik dengan induknya atau merupakan fotokopi dari induknya. Kultur pucuk merupakan dasar dari kegiatan perbanyakan dalam laboratorium komersial. (Anonymous, e-learning.unram.ac.id )
Pertumbuhan pucuk, pada umumnya memerlukan zat pengatur tumbuh dalam media. Tahapan pertumbuhan dan tipe pertumbuhan, menentukan jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang dibutuhkan. Auksin yang biasanya dipergunakan dalam kultur pucuk, adalah IAA, NAA dan IBA. Priyono (2004) melaporkan bahwa IAA sangat berperan dalam memperbaiki tingkat pembentukan tunas mikro pada kultur in vitro ruas T trianggulare. Penggunaan 2,4-D biasanya dihindarkan, karena 2,4 D cenderung menginduksi kalus. Dalam kultur pucuk, kalus tidak diinginkan.
Sitokinin merupakan bahan yang selalu ditambahkan. Jenis sitokinin yang biasa dipergunakan adalah BAP, 2iP atau kinetin. Dibandingkan jenis sitokinin yang lain, BAP merupakan jenis sitokinin yang lebih umum digunakan dalam in vitro, karena lebih efektif dan stabil (Bhojwani dan Razdam, 1983). Dalam kultur pucuk sangat umum digunakan konsentrasi sitokinin yang relatif lebih tinggi dari auksin. Pada beberapa jenis tanaman berkayu tertentu, diperlukan masa pemantapan kultur dengan memberikan sitokinin dan auksin dalam konsentrasi rendah. Pada jenis tanaman yang demikian, proliferasi pucuk terjadi setelah dipindahkan ke media kedua dengan hanya berisi sitokinin.
Manfaat perbanyakan in-vitro (kultur pucuk) dalam industri bibit
1. Dapat digunakan untuk memproduksi bibit dalam jumlah banyak dan waktu yang relatif singkat. Salah satu keunggulan mikropropagasi adalah perbanyakan organ tanaman yang dihasilkannya. Penggunaan hormon pertumbuhan sintetis memungkinkan perbanyakan eksplan dalam jumlah banyak dan waktu singkat. Perbanyakan di dalam wadah kecil memungkinkan dilakukan perbanyakan cepat ini. Dewasa ini telah dilakukan automatisasi dalam mikropropagasi menggunakan mesin pembuat media dan sterilisasi media, pemotongan dan sterilisasi eksplan yang dikendalikan dengan komputer sehingga dapat dilakukan perbanyakan secara lebih cepat dan lebih efisien.
2. Dapat menghasilkan bibit dengan ukuran seragam. Produksi klon secara in vitro dapat dikontrol lebih mudah dbandingkan produksinya dilapangan karena perbanyakan dilakukan dalam wadah kecil. Oleh karena itu bisa dihasilkan klon dengan ukuran yang seragam dalam saat yang bersamaan. Penanaman bibit yang seragam mempermudah pemeliharaan tanaman di lapangan dan panen dapat dilakukan secara serempak.
3. Tidak membutuhkan eksplan dalam jumlah banyak sehingga menghindari kerusakan tanaman induk. Sebaliknya stek, cangkok, penyambungan/penempelan yang intensif dari satu pohon induk dapat mengganggu pertumbuhan tanaman induk bahkan dapat merusaknya.
4. Dapat digunakan untuk perbanyakan cepat tanaman langka, tanaman dengan nilai ekonomis tinggi, atau varietas unggul hasil pemuliaan tanaman. (Anonymous, e-learning.unram.ac.id )
Tahapan Pelaksanaan Mikropropagasi Kultur Pucuk
1. Tahap 0 : Tahap persiapan, seleksi, dan persiapan bahan induk
Tahapan ini dilakukan sebelum eksplan diambil untuk perbanyakan. Pohon induk yang akan digunakan sebagai sumber eksplan harus dipilih secara hati-hati. Pohon ini adalah pohon dari spesies atau verietas yang akan diperbanyak, mempunyai vigor yang sehat dan bebas dari gejala serangan hama atau penyakit. Kadang-kadang pohon induk atau bagian tanaman yang akan diambil sebagai eksplan perlu diperlakukan khusus agar mikropropagasi berhasil.
Perlakuan-perlakuan tersebut antara lain :
a. Penaman di green house atau pot untuk mengurangi sumber kontaminan,
b. Pemberian lingkungan yang sesuai atau perlakuan kimia untuk meningkatkan kecepatan multiplikasi dalam kondisi in-vitro,
c. Indexing atau prosedur lain untuk mengetahui adanya penyakit sistemik oleh virus atau bakteri,
d. Perangsangan pertumbuhan tunas-tunas dorman, dll.
2. Tahap 1 : Tahap awal atau induksi (inisiasi)
Tahap awal ini amat sangat penting dan menentukan bagi keberhasilan mikropropagasi. Keberhasilan tahap ini pertama kali terlihat dari keberhasilan penanaman eksplan pada kondisi aseptis (bebas dari segala kontaminan) dan harus diikuti dengan pertumbuhan awal eksplan sesuai tujuan penanamannya (misalnya: perpanjangan pucuk, pertumbuhan awal tunas, atau pertumbuhan kalus pada eksplan). Setelah 1 – 2 minggu inkubasi, kultur yang terkontaminasi oleh bakteri atau jamur (baik pada media maupun eksplannya) dibuang. Tahap ini selesai dan kultur bisa dipindahkan ke tahap berikutnya bila eksplan yang tidak terkontaminasi telah tumbuh sesuai dengan harapan (misalnya tunas lateral atau tunas adventif tumbuh). Untuk eksplan yang mengalami kontaminasi berat atau yang sulit untuk disterilisasi maka eksplan terlebih dahulu dapat ditanam pada media inkubasi atau establishment yaitu media yang hanya mengandung gula dan agar saja dengan tujuan untuk isolasi eskplan yang tidak terkontaminasi sebelum diinisiasi pada tahap 1 mikropropagasi.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada keberhasilan pada tahap ini adalah:
· Umur tanaman induk
· Umur fisiologis dari eksplan
· Tahap perkembangan dari eksplan
· Ukuran dari eksplan.
3. Tahap 2 : Tahap perbanyakan (Multiplikasi)
Tujuan dari tahapan ini adalah untuk memperoleh dan memperbanyak tunas. Kultur axenik yang telah dihasilkan pada tahap I dipindahkan pada media yang kaya akan cytokinin agar eksplan dapat menghasilkan tunas yang banyak yang selanjutnya pada tahap III nanti tunas-tunas tersebut dipindahkan pada media pengakaran untuk memacu pertumbuhan akar.
Tunas yang diperoleh pada tahapan ini digunakan sebagai bahan perbanyakan berikutnya, oleh karena itu pada tahapan ini dilakukan banyak sub kultur untuk melipatgandakan jumlah plantlet yang dihasilkan. Pada tahap ini tunas yang dihasilkan dibagi-bagi atau dipotong-potong untuk selanjutnya ditanam pada media baru yang umumnya mengandung sitokinin pada konsentrasi yang lebih tinggi dari auksin. Pada tahap ini dapat digunakan media cair (media tanpa agar), semi padat maupun media padat. Dengan modifikasi media yang sesuai, tunas-tunas baru akan tumbuh dari potongan eksplan. Tahapan ini umumnya dilakukan sebanyak 8 – 10 kali sehingga akan dapat dihasilkan sejumlah besar tunas (ribuan tunas) dari satu eksplan pada tahapan inisiasi. Tunas tersebut selanjutnya dibesarkan atau diakarkan pada tahap mikropropagasi berikutnya.
4. Tahap 3: Persiapan planlet sebelum aklimatisasi (pengakaran)
Tunas atau plantlet yang dihasilkan dari tahapan ke 2 tersebut umumnya masih sangat kecil atau tunas yang belum dilengkapi dengan akar sehingga belum mampu untuk mendukung pertumbuhannya dalam kondisi in-vivo. Oleh karena itu, dalam tahap ini masing-masing plantlet yang dihasilkan ditumbuhkan untuk pembesaran, pengakaran dan perangsangan aktifitas fotosintesisnya. Teknik untuk mendapatkan plantula yang siap untuk di pindahkan ke media terrestrial pada tahap IV antara lain, adalah:
(1) Media untuk pengakaran dan perpanjangan tunas. Media perakaran yang digunakan tanpa penambahan zat pengatur tumbuh. Kluster tunas yang dihasilkan pada tahap II disimpan pada media tanpa ZPT dengan kelembaban yang sangat tinggi.
(2) Individu tunas (propagul) disubkultur ke media dengan mengurangi konsentrasi atau tanpa penambahan sitokinin dan menambah konsentrasi auxin serta kadang dengan mengurangi konsentrasi senyawa anorganik. Pada beberapa jenis tanaman pengakaran dapat dilakukan dengan cara menempakan tunas hasil tahap II (propagul) diletakan pada aerasi media cair lebih baik dari pada pada media padat. Atau dengan cara memindahkan propagul ke media yang berisi auxin selama 1-2 hari, kemudian disubkultur lagi ke media tanpa auxin (induksi akar dipacu oleh adanya auxin, tetapi pertumbuhan akar dapat dihambat oleh keberadaan auxin dalam media). Atau propagul dicelupkan dalam larutan pangakaran (auxin) sebentar dan selanjutnya ditanam dalam medium tanpa auxin.
(3) Tahapan pemanjangan ini dapat ditempuh dengan cara meletakan propagul medium agar tanpa atau dengan konsentrasi yang sangat rendah sitokinin selamas 2-4 minggu. Pada beberapa tanaman menggunakan penambahan GA3 dalam medium. Selanjutnya propagul dipindahkan ke media lainnya seperti teknik sebelumnya.
(4) Penggunaan media praaklimatisasi dan lingkungan kultur dengan penyinaran yang lebih intensitas cahayanya untuk perangsangan aktifitas fotosintesis misalnya penggunaan media dengan konsentrasi gula rendah/tanpa gula, penambahan intensitas cahaya, perlakuan dengan carbon dioksida, dll.
5. Tahap 4: Aklimatisasi
Tahapan aklimatisasi ini adalah tahap pemindahan plantet dari kondisi in-vitro ke kondisi in-vivo. Tahap ini sangat penting dan harus dilakukan secara hati-hati, karena jika tidak dilakukan dengan baik maka sebagian besar plantet yang dihasilkan dapat mati/musnah. Plantlet dikeluarkan dari botol dan agar yang melekat pada akarnya dibersihkan, direndam dalam larutan fungisida, lalu ditanam dalam kompos atau medium porous yang bersih untuk merangsang pembentukan akar-akar serabutnya. Untuk mencegah kematian plantlet akibat transpirasi, plantlet disungkup dengan plastik atau ditempatkan pada ruangan dengan kelembaban tinggi, dengan suhu ruangan dan diletakkan ditempat yang ternaungi dengan intensitas cahaya 30 %. Pada kasus tertentu, daun tanaman disemprot dengan anti transpirant (misalnya Abscicic acid) untuk mencegah penguapan yang terlalu besar dari daun. Secara perlahan, kelembaban dikurangi dan intensitas cahaya ditambah untuk merangsang fotosintesis. (Taji, 2002)
Kultur Pucuk untuk Perbanyakan Vegetatif
1.Anyelir
Mikropropagasi Dianthus caryophyllus L, cv. Orange Triumph dapat dilakukan melalui sistem multiplikasi pucuk dan multiplikasi buku tunggal. Medium yang dipakai adalah MS-1 dengan penambahan zat pengatur tumbuh benzilaminopurin (BAP)-asam naftalenasetat (NAA) dan kinetin-NAA. Dalam sistem multiplikasi pucuk, eksplan yang digunakan adalah potongan pucuk apikal. Dalam sistem multiplikasi buku tunggal, eksplan yang digunakan adalah potongan buku batang. Masing-masing eksplan ini dirangsang untuk menghasilkan pucuk pada tahap induksi. Pucuk yang dihasilkan dapat dimultiplikasi pada medium dengan kombinasi dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang memberikan jumlah pucuk tertinggi selama tahap induksi. Pucuk apikal dimultiplikasi pada medium MS-1 dengan 5 pM BAP-0,1 pM NAA dan 10 pM kinetin-0,01 pM NAA. Sanjaya (2004), menyatakan bahwa kemampuan regenerasi dari eksplan tunas apikal berbeda nyata antara klon anyelir.
Laju multiplikasi yang dihasilkan dalam 3 kali subkultur adalah masing-masing sebanyak 8-21 pucuk dan 7-19 pucuk per siklus kultur. Buku batang dimultiplikasi pada medium MS-1 dengan 4 pM BAP-0,25 pM NAA. Laju multiplikasi yang dihasilkan dalam 3 kali subkultur adalah sebanyak 6-20 pucuk per siklus kultur. Perakaran semua pucuk hasil multiplikasi ini dapat diinduksi pada medium MS-1 dengan penambahan asam indolbutirat (IBA). Aklimatisasi planlet memberi keberhasilan sebesar 70 persen. Ternyata penanaman satu potongan jaringan pucuk apikal dan buku batang dalam waktu 18 minggu mampu menghasilkan jumlah bibit siap lapang, masing-masing sebanyak sekitar 22.550 dan 12.600 plantlet. Penelitian yang lain menyebutkan bahwa aklimatisasi planlet dari kultur in vitro membutuhkan media yang spesifik untuk tiap kultivar anyelir. Pada media pasir, system perakaran planlet tidak dapat berkembang optimal akibat dari rendahnya ketersediaan hara dalam media. ( Fayakun, 2002)
2. Tebu
Dari penelitian yang dilakukan oleh Baksha et al (2002) mengenai kultur pucuk pada tebu varietas Isd 28, untuk mengetahui effek perbedaan penggunaan jenis dan konsentrasi auksin dan sitokinin pada regenerasi tunas yang ditumbuhkan secara in vitro. Eksplan tanaman adalah bagian tunas pucuk dari tanaman tebu pada fase juvenile (3-4 bulan). Sterilisasi eksplan menggunakan 0.1% HgCl2 setelah dicuci dengan air yang mengalir selama 7-10 menit. Kemudian eksplan dicuci dengan DDH2O (double distilled water) steril pada kondisi aseptic di dalam laminar flow. Eksplan kemudian ditumbuhkan dalam media MS dengan perbedaan kombinasi auksin dan sitokinin untuk mengidentifikasi ketepatan kombinasi media untuk regenerasi tebu melalui kultur pucuk. Media terdiri dari 3% sukrosa, 0.6% agar, dengan pH 5.7 sebelum penambahan agar dan di autoclave pada suhu 1200 selama 15 menit. Eksplant diinkubasi pada 25±20C di bawah fotoperiode 16 jam.
Dari penelitian yang dilakukan diketahui bahwa, untuk penggandaan regenerasi pucuk, pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh tipe dan konsentrasi auksin dan sitokinin yang digunakan. Sitokinin BAP lebih efektif daripada Kn dan IBA untuk pembentukan tunas. Rendahnya auksin dan tingginya sitokinin pada medium menginduksi penggandaan regenerasi tunas. Respon maksimum untuk penggandaan inisiasi tunas ditemukan saat eksplan dikultur pada media MS yang ditambah dengan 2.0 mgl-1 BAP + 0.5 mgl-1 IBA, 1.0 mgl-1 BAP + 0.5 mgl-1 IBA dan 1.0 mgl-1 + 0.5 mgl-1 Kn. Pada media ini 70-75% eksplan menghasilkan 2-6 tunas dari pucuk tunggal selama 2-3 minggu. Pertumbuhan tunas pada awalnya tanpa akar, untuk menumbuhkan akar, tunas dipotong terpisah dan diletakkan pada media pengakaran. Konsentrasi yang sama dari IAA (5 mgl-1), NAA atau IBA digunakan tersendiri pada setengah media MS untuk induksi akar yang sebanyak-sebanyaknya. Pertumbuhan akar tunas mungkin dipengaruhi pH, tingkat auksin dan konsentrasi nutrisi pada media induksi akar. Respon terbaik diamati pada 5 mgl-1 NAA yang digunakan pada setengah media MS. Hal tersebut juga telah dikemukakan oleh Heinz ( 1977), yang menyatakan bahwa auksin yang paling bagus digunakan untuk inisiasi akar adalah NAA Perkembangan akar pada media yang mengandung IAA atau IBA memiliki kualitas yang kurang bagus di bandingkan media yang mengandung NAA. Media yang paling efektif untuk penggandaan tunas adalah media MS yang mengandung 2.0 mgl-1 BAP +0.5 mgl-1 IBA, 1.0 mgl-1BAP+0.5mgl-1 IBA dan 1.0 mgl-1 BAP + 0.5 mgl-1 Kn.
Lebih jauh penelitian ini menunjukkan bahwa untuk regenerasi tunas kombinasi auksin dan sitokinin penting. Penelitian mengenai mikro propagasi telah memberikan teknologi yang cepat dibandingkan dengan teknik konvensional untuk penggandaan dan preservasi plasma nutfah varietas tebu pilihan.
Salah satu kendala dalam kultur pucuk adalah timbulnya pencoklatan (browning) pada pucuk maupun pangkal eksplan. Dari penelitian yang dilakukan oleh Winarsih (2006) pada eksplan tanaman tebu, menunjukkan bahwa penggunaan kloroks dengan konsentrasi 4% paling baik untuk sterilisasi eksplan.
Daftar Pustaka
Anonymous. Kultur Pucuk. Available at e-learning.unram.ac.id/Kuljar/BAB V
Bhojwani, S.S. and M.K. Razdam. 1983. Plant tissue culture. Elsevier Science Pulb. Amsterdam
Baksha,R., R.Alam, M.Z. Karim, S.K. Paul, M.A. Hossain, M.A.S. Miah and A.B.M.M Rahman. 2002. In vitro shoot tip culture of sugar-cane (Saccharum officinarum). Biotechnology 1(2-4):67-72
Fayakun, S. 1992. Mikropropagasi Dianthus caryophyllus L. pada media buatan. Departemen Biologi ITB
George, E.F. and P.D. Sherrington. 1984. Plant propagation by tissue culture. Handbook and Directory of Commercial Laboratories. Exegenics Ltd., Basingtoke, England. 546 p
Heinz, D.J., M. Krishnamurti, L.G. Nickell and A. Maretzki, 1977. Cell tissue and organ culture in sugar-cane improvement. In: applied and Fundamental Aspects of Plant Cell, Tissue and Organ Culture. (Eds. Reinert J. and Bajaj Y.P.S.), Springer, Berlin, Heidelburg, New York, pp: 3-17
Priyono. 2004. Perbanyakan Tanaman Ginseng (Talinum trianggulare) melalui kultur jaringan eksplan buku. Agrivita 26(1):251-261
Sanjaya,L., M. Dewanti and E. Febrianty. 2004. Rapid propagation of promising clones of carnation and their acclimatization. Prosiding Seminar Nasional Florikultura, Bogor, 4-5 Agustus : 135-142
Taji, A., P. Kumar and P. Lakshamanan, 2002. In vitro plant breeding. The Haworth Press, Inc. New York
Winarsih,S., S.Eka. 2005. Peranan metode sterilisasi dan zat pengatur tumbuh pada pengembangan teknik kultur tunas pucuk tanaman tebu. Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar