Buscar

Páginas

Efisiensi Energi dalam Kultur Jaringan

Penurunan biaya energi penting untuk biaya produksi yang lebih rendah dari mikropropagasi tanaman. Penggunaan energi listrik dalam kultur jaringan digunakan untuk autoclave, penyinaran ruang tumbuh, filtrasi air dalam laminar-flow cabinets dan AC. Di negara berkembang, biaya listrik dapat sampai mencapai 60% biaya produksi. Lebih jauh, supply yang tidak menentu dan voltasenya menjadi masalah utama.
Perubahan metode pencahayaan dari cahaya buatan ke cahaya alami adalah salah satu alternative penurunan biaya produksi dalam kultur jaringan. Hal ini tidak hanya menurunkan biaya listrik dan capital, tetapi juga mengembangkan kualitas tanaman. Cahaya buatan yang mahal dapat diganti dalam beberapa cara. Salah satu pilihan adalah menumbuhkan kultur in vitro dibawah difusi cahaya alami dibawah plastic atau kaca. Pekerjaan ini sangat baik dilakukan di daerah beriklim sedang, tetapi dibawah kondisi tropis, panas yang timbul dapat diturunkan dengan memasang pengontrol panas yaitu kipas angin. Hal tersebut juga memungkinkan untuk mendesain ulang keberadaan laboratorium di negara tropis dan subtropis , dan mengganti cahaya buatan dengan Solatube (Anonymous, 2001), yang dapat diinstal pada atap, dan meneruskan cahaya melalui reflective tubing (Kodym et al., 2001). Harga tabung adalah US $600 dan sekali dipasang dapat menyinari 3-5 m2 .

Alternative lain penurunan biaya listrik adalah dengan menurunkan waktu pencahayaan dan menggunakan ruangan tanpa AC. Dengan menggunakan lampu 40 watt dan dengan penyinaran 16 jam per hari, diperlukan energy listrik sebesar 0,64 KWh. Atas dasar tarif listrik Rp 1380 (Sofia, 2009), maka biaya yang diperlukan perhari adalah Rp 883,2. Apabila pencahayaan ditunkan menjadi 12 dan 8 jam perhari biaya masing-masing adalah Rp 662,4 dan Rp 441,6, sehingga biaya untuk penurunan dapat diturunkan sebesar 25 dan 50%.

Air conditioner (AC), digunakan untuk pengaturan temperature ruang kultur yang berkisar 20-220C (Mariska dan Supriyati, 2009). AC yang dipakai dalam ruang kultur adalah AC 1 pk dengan daya 750 watt. Penggunaan AC dalam ruang kultur adalah selama 24 jam, sehingga biaya yang diperlukan untuk pengaturan suhu ruang perhari adalah Rp 24.840. Pemeliharaan kultur in vitro pada pengontrolan temperature dengan menggunakan AC menambah biaya produksi tetapi tidak memberikan kontribusi untuk kualitas tanaman tertentu. Faktanya, seperti dalam penggunaan cahaya buatan, pertumbuhan tanaman di bawah selisih temperature yang sempit tidak menguntungkan selama hardening dan lebih lambat dibawah kondisi lapang. Eliminasi dari factor ini secara signifikan memberikan kontribusi untuk menurunkan biaya listrik. Berkebalikan dengan kepercayaan umum bahwa temperature siang dan malam dalam ruang pertumbuhan harus dikontrol secara tepat pada level tertentu, banyak terjadi dalam pertumbuhan tanaman in vitro dapat mentoleransi fluktuasi yang luas pada temperature. Tingginya temperature pada siang hari yang dapat mencapai 28-300C dan rendahnya temperature pada malam hari yang dapat mencapai 10-120C tidak merusak pertumbuhan tanaman. Sebaliknya, fluktuasi temperature meningkatkan pertumbuhan yang lebih baik. Pertumbuhan tanaman secara in vitro dari pisang dan kentang, yang diletakkan pada temperature 16-410C pada 750 µmol m-2s-1 dibawah cahaya alami, menunjukkan pertumbuhan yang sama atau lebih bagus daripada dalam ruang tumbuh yang terkontrol (Kodym et al., 2001).

0 komentar:

Posting Komentar